KASUS suap jual beli jabatan yang menyeret Ketum PPP Romahurmuziy alias Rommy ditengarai terjadi juga di sejumlah daerah. Seleksi jabatan Kakanwil Kemenag di daerah meski sudah online, ternyata masih terbuka terjadinya transaksional. Ketua FKUB Sulut Pdt Lucky Rumopa STh mengatakan, kasus OTT KPK yang melibatkan Rommy diharapkannya menjadi pelajaran bukan saja di instansi Kemenag, tetapi di instansi manapun, karena kasus jual beli jabatan bukan saja bagi kaum lemah tapi elite pejabat pun bisa melakukannya.
โTermasuk instansi Agama sudah bukan rahasia lagi orang yg hendak promosi jabatan minimal sediakan Rp500 juta sampai 1 milliar. Kasus Rommy sebenarnya sudah menjadi kebiasaan yang tidak terdeksi pelaku hokum,โ tukas Rumopa.
Oleh sebab itu, dia mengharapkan kasus ini akan menjadi trigger bagi KPK agar ditelusuri dan dituntaskan juga sampai ke daerah-daerah, termasuk di Sulut. Dengan begitu, proses seleksi untuk duduk sebagai Kakanwil Kemenag benar-benar fair. โAgar kita lebih memprioritaskan kompentensi. Kalau hal itu di nomor satukan, pasti tidak ada kecemburuan, dan pungutan liar,โ katanya.
Apalagi, lanjut Rumopa, tuntutan dari segi keterwakilan yang selama ini tak pernah didengar. โKita bersama tahu, jabatan-jabatan pusat banyak faktor penentu yang tidak melihat skil seseorang, apalagi keterwakilan agama di suatu daerah,โ katanya.
Rumopa mencontohkan di Sulut. โSejak republik ini berdiri, Sulut selalu ditempatkan Kakanwil dari satu agama, tidak pernah ditempatkan dari unsur agama Kristen yang dipercayakan. Padahal umat kristen di Sulut 67 persen. Bila berbicara kompetensi saya yakin semua punya peluang dan tidak ada lagi kepentingan lain termasuk harus agama ini dan itu,โ tandasnya.
Dari Jakarta, mantan Inspektora Jenderal Kemenag periode 2012-2017, Mochammad Jasin menyatakan kasus OTT KPK terhadap Rommy terjadi sebagai tanda kurang maksimalnya peran pengawasan internal kementerian tersebut saat ini. “Peran pengawas internalnya atau peran itjennya itu jadi kurang maksimal. Karena ya tidak melakukan katakanlah penahanan atau evaluasi atau pengawasan yang menimbulkan efek jera bagi orang yang melakukan pelanggaran. Istilahnya kendor lah pengawasan internalnya,” kata Jasin, Selasa (19/03).
Mantan wakil ketua KPK itu juga mengungkapkan bahwa pada zamannya menjabat sebagai itjen, mereka yang mendapatkan hukuman disiplin (hukdis) tidak akan dipromosikan. “Saya masuk 2012, mulailah itu open recruitment. Maksud saya sesuai dengan SOP, yang mendapatkan hukuman disiplin ya itu tidak bisa dipromosikan. Tapi kalau sekarang yang mendapatkan hukdis justru banyak yang dipromosikan, yang tidak hukdis malah disingkirkan,” ungkap Jasin.
Pria kelahiran Blitar 60 tahun yang lalu itu juga mengungkapkan bahwa pada masa ia menjabat sebagai itjen, audit internal masih ketat. Hal itu menurutnya bisa mencegah penyelewengan yang terjadi di tubuh internal Kemenag. “Kita melakukan audit. Kalau orang mau menyimpang jadi mikir nanti kalau ketauan dipecat. Jadi menjelang saya keluar di akhir 2016 itu sudah mulai ada (jual beli jabatan) tapi belum tercium, belum marak kayak sekarang,” jelas Jasin.
Selain itu, ia memberikan saran kepada pengawas internal bahwa pencegahan lain yang bisa dilakukan adalah dengan selalu menanggapi laporan masyarakat. “Setiap laporan masyarakat harus ditindaklanjuti. Kalau ada di sini misalnya jual beli jabatan kita turun mengaudit. Ketemulah temuan misalnya dia memang tidak berprestasi tidak berintegritas malah dipromosikan, ya itu tidak boleh. Dengan cara itukan terjaga,” jelasnya. Menurutnya, kalau pengawas bagus maka, pengawasan dan pengendaliannya bagus. “Jadi intinya yang saya tekankan tadi, pengawasan bagus pengendalian yang bagus dan pendampingan yang bagus. Dicontohkan dengan integritas moral yg dicontohkan oleh pimpinan masing-masing unitnya. Kalau di itjen ya itjen-nya yang dicontohi, kalau di tingkat kementerian ya menterinya,” tandas Jasin. (lp/rik)

redaksikomentaren@gmail.com