GAUNG new normal makin digaungkan di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Masyarakat pun mulai bereuforia tentang era “new normal” tersebut, termasuk di Sulawesi Utara (Sulut). Padahal untuk menerapkan new normal, ada syarat yang harus dipenuhi, seperti halnya sudah sejauh mana tingkat penyebaran virus Covid-19. Ada rumus yang dipakai untuk menghitungnya. Dan hitungan itu akan menjadi ‘rapor’ bagi masing-masing daerah apakah sudah layak menjalankan kehidupan “new normal”.
Salah satu yang dihembuskan saat ini adalah bagaimana agar Pariwisata Indonesia akan segera dibuka, seiring memasuki masa new normal pandemi corona (Covid-19). Namun Presiden Joko Widodo meminta pembukaan tidak tergesa-gesa.
Jokowi memberi syarat, sektor pariwisata dapat beroperasi di suatu daerah jika R0 (basic reproductive number, R-naugt) atau potensi penularan Covid-19 tercatat di bawah 1. “Rt (R effective)-nya di bawah 1, sehingga betul-betul secara bertahap kita bisa membuka sektor pariwisata tetapi sekaligus dengan pengendalian protokol yang ketat,” ujar Jokowi saat membuka rapat terbatas tentang pariwisata di masa pandemi melalui video conference, Kamis (28/05/2020) yang dilansir kompas.com.
Lalu bagaimana dan apa itu parameter pengukuran RO? Memahami Basic Reproduction Number (Ro) akan menjadi Indikator The New Normal.
RO adalah angka yang menunjukkan daya tular virus corona dari satu kasus positif. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, menyebut R0 Indonesia berada di angka 2,5-2,6. Artinya, 1 orang positif corona bisa menularkan ke 2 atau 3 orang lainnya.
“Tugas kita adalah bagaimana pada waktu tertentu kita bisa menurunkan R0 itu dari yang namanya 2,5 itu atau 2,6, persisnya itu menjadi di bawah 1,” kata Suharso dalam konferensi pers virtual Rabu (20/05) dilansir kumparan.com.
Bagaimana kita memahami logika penggunaan indikator R0 ini?
Artikel jurnal “Complexity of the Basic Reproduction Number (R0)” (2019) menjelaskan bahwa R0 yang dibaca “R-naught” adalah metrik epidemiologi yang digunakan untuk menggambarkan penularan agen infeksi.
Pada 1950-an, ahli epidemiologi George MacDonald menyarankan menggunakan R0 untuk menggambarkan potensi penularan malaria. Dia mengusulkan jika R0 kurang dari 1, penyakit ini akan mati dalam suatu populasi. Sebab, rata-rata orang yang terinfeksi akan menularkan kurang dari satu orang yang rentan lainnya. Di sisi lain, jika R0 lebih besar dari 1, penyakit akan menyebar.
Dengan R0 2,5 di Indonesia, berarti jika skenarionya ada 100 orang yang positif corona, maka mereka akan menularkan ke 250 orang lainnya. Pada generasi/putaran penularan berikutnya, ke-250 orang ini akan menularkan ke 625 orang lainnya. Daya penularan semacam ini membuat kasus corona bertumbuh secara eksponensial.
Adapun jika R0 sama dengan 1, setiap 1 kasus positif akan menginfeksi 1 orang lainnya. Semisal ada 100 kasus, maka mereka akan menginfeksi 100 orang lainnya. Begitu pula generasi selanjutnya akan menginfeksi dengan jumlah yang sama seterusnya.
Mengutip healthline, R0 sama dengan 1 membuat virus tetap ada di sebuah populasi masyarakat. Namun demikian, penularannya akan bersifat stabil. Lain lagi jika R0 kurang dari 1. Dengan angka ini, penularan virus corona bukan berarti virus langsung hilang. Namun, penularan virus akan berkurang terus diikuti pertumbuhan kasus yang melambat.
Kita ambil skenario jika R0 berada di angka 0,8. Berarti, jika ada 100 orang positif corona, maka akan ada 80 orang yang terinfeksi dari mereka. Pada generasi berikutnya, penularan akan berkurang lagi hingga virus tak lagi menular atau mati di sebuah populasi sebagaimana usulan George MacDonald.
Dengan jumlah R0 yang berbeda, akumulasi kasus yang berpotensi terjadi akibat penularan virus juga akan berbeda. Semakin tinggi R0-nya, maka akan semakin besar akumulasi kasus corona yang bakal ada di Indonesia.
Jika kita memulai 100 kasus positif corona di suatu wilayah, dengan lima putaran/generasi penularan pada R0 2,5, maka akan ada 6.443,8 total kasus. Berbeda halnya apabila dalam wilayah itu, R0 dapat ditekan ke angka 1, kasusnya hanya akan berjumlah 500. Sementara, jika R0 sama dengan 0,8, total kasus pada putaran kelima penularan hanya 336,2.
Lantas bagaimana cara menetapkan R0?
Masih menurut artikel jurnal “Complexity of the Basic Reproduction Number (R0)”, nilai R0 biasanya diperkirakan dengan model matematika yang rumit yang dikembangkan menggunakan berbagai set asumsi.
Di antara asumsi itu, ada 3 parameter yang kerap digunakan sebagai fungsi menurut artikel yang diterbitkan di jurnal Emerging Infectious Diseases tersebut, yakni:
-Lamanya penularan setelah seseorang terinfeksi.
-Kemungkinan infeksi per kontak (antara orang yang sudah terinfeksi dengan yang rentan terinfeksi).
-Tingkat kontak antarmasyarakat (biasanya ditambahkan parameter tambahan untuk menggambarkan siklus transmisi yang lebih kompleks).
“Nilai R0 hampir selalu diperkirakan dari model matematika dan nilai estimasi tergantung pada berbagai keputusan yang dibuat dalam proses pemodelan,” tulis para peneliti dalam artikel jurnal yang diterbitkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat itu.
Indonesia hingga kini belum menjelaskan pemodelan seperti apa yang dibuat untuk menghitung R0 ini. Sementara itu, pemerintah baru akan menghitung R0 di masing-masing wilayah Indonesia.
“Sekarang kita akan menghitung untuk semua kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Itu indikator pertama yang kita gunakan, Ro,” terang Suharso Monoarfa. (sbr/kc/kpr)

redaksikomentaren@gmail.com