oleh

Kisah Jokowi, Olly dan Moana

PRESIDEN Jokowi memiliki obsesi ingin menjadikan Indonesia sebagai “Poros Maritim Dunia”. Jokowi ingin mengembalikan kejayaan kehebatan bangsa ini yang secara historis adalah penguasa maritim di abad ke 7, ketika Kerajaan Sriwijaya dulunya pernah memerintah sebagian besar Asia Tenggara dari Pulau Sumatra di Indonesia.

Saat itu, lewat penaklukan lewat maritim, Sriwijaya mampu melebarkan jaringan perdagangan yang berkembang hingga ke negeri Cina. Para sejarawan menggambarkan masa itu adalah masa ketika sejarah maritim kepulauan berkembang. Di era modern ini, maritim masih menjadi “jalur sutera” perekonomian dan perdagangan dunia.

Pameo klasik “Siapa menguasai lautan, maka dia akan menguasai dunia” masih merupakan pegangan kuat yang belum tergerus oleh kemajuan informasi dan teknologi di era ‘homodeus’ ini. Tak heran jika China yang saat ini menjadi raksasa ekonomi dunia merintis proyek mega raksasa “One Belt One Road” demi menguasai jalur sutera laut.

Namun sebuah ancaman besar menghadang, ketika perubahan iklim mulai menggerus lautan yang selama ini diciptakan Tuhan sebagai sumber daya besar bagi kesejahteraan manusia. Kekuatiran sangat dirasakan Indonesia sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia. Upaya penyelamatan laut pun digagas.

Jokowi lewat Menteri Kemaritiman Luhut Panjaitan merintis lahirnya sebuah forum Negara-negara kepulauan di dunia (Archipelagic and Island States—AIS), untuk sama-sama menjadi ‘avenger’ demi menyelamatkan lautan sebagai salah satu anugerah besar yang diberikan Tuhan bagi umat manusia.

Adalah Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey yang merupakan sahabat Luhut, ikut terpanggil untuk menjadi penyelamat dunia kelautan, terpanggil menjadi penyelamat sumber pangan dan ekonomi masyarakat dunia, terutama di Negara-negara kepulauan (AIS) yang keanggotannya ada 49 negara.

Gubernur Olly menawarkan Sulawesi Utara, provinsi ‘kecil’ di Indonesia namun memiliki sumberdaya besar di bidang kemaritiman untuk menjadi tuan rumah. Keberanian Olly menjadi tuan rumah pertemuan puluhan Negara-negara kepulauan, direspons positif Presiden Jokowi dan Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Panjaitan.

November Tahun 2018 silam, para ‘avengers’ dari 20 negara dengan misi menyelamatkan dunia kemaritiman, menempuh perjalanan berjam-jam dengan pesawat untuk tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado. Pertemuan para avengers komunitas AIS ini kemudian melahirkan “Deklarasi Manado” 2018. Mereka sepakat untuk bersatu menyelamatkan laut dan menyatakan kebersamaan untuk membedayakan blue economy.

Menarik inspirasi yang dilontarkan Presiden Jokowi ketika forum AIS terbentuk di Manado tersebut.  Jokowi menggunakan analogi tokoh animasi Walt Disney “Moana” sebagai motivasi. Dia meminta negara-negara kepulauan untuk bersama-sama menghadapi berbagai problem laut dengan kuat, layaknya Moana, bukan Cinderella.

“Negara kepulauan seharusnya tidak mencitrakan diri sebagai Cinderella. Kita harus menjadi Moana, anak perempuan yang memiliki semangat inovatif, dan selalu optimis dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya di dalam maupun luar perbatasannya,” kata Luhut.

Moana adalah film kartun gadis Polinesia yang mencari jati diri dan memperjuangkan nasib kampung halamannya dengan menjelajahi lautan menggunakan rakit kecil. Layaknya Moana, Jokowi menyatakan para penduduk di negara-negara kepulauan juga tinggal di tengah lautan luas dengan segala tantangannya yang kian besar, terutama di tengah situasi iklim pemanasan global.

Dengan kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global, negara-negara pulau dan kepulauan menjadi wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Forum AIS yang digagas oleh Indonesia bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) ini pun dibentuk sebagai wadah untuk menjalin kerja sama konkret atas semua tantangan bersama itu.

“Forum ini bisa menjadi ajang berbagi pengetahuan, mencari solusi cerdas dan kreatif, diperbesar dan diperbanyak untuk digunakan oleh pihak-pihak yang membutuhkan,” demikian bunyi pidato Jokowi. Para delegasi pun terletup semangatnya dan disepakatilah Deklarasi Manado yang berisi komitmen negara negara anggota untuk memperkuat komitmen kerja sama pada empat isu khusus. Negara maju seperti Singapura dan Inggris ikut di dalamnya. Isu tersebut adalah mitigasi perubahan iklim dan manajemen bencana, tantangan dan peluang ekonomi, sampah plastik di laut, serta tata kelola maritim.

30 Oktober-1 November 2019 ini, AIS melanjutkan pertemuannya dan kembali Kota Manado, Sulawesi Utara menjadi tuan rumah. Sedikitnya delegasi 47 negara anggota AIS kembali datang di Bumi Nyiur Melambai. Dan Gubernur Sulut Olly Dondokambey mengatakan, Forum AIS 2019 ini ‘masih’ sebatas pertemuan tingkat menteri. Masih ada pertemuan lanjutan dengan ‘stratifikasi’ high level meeting di tahun 2020. “Jika kegiatan ini sukses, tahun depan pertemuan tingkat kepala Negara,” kata Olly.

Sulut adalah Moana, gadis kecil yang memiliki semangat untuk menyelamatkan lingkungan lautan. Keberanian Gubernur Olly dan gagasan besar Presiden Jokowi dengan bergandengan tangan bersama 49 negara anggota AIS sedunia, diharapkan akan menciptakan perubahan, diharapkan akan menyelamatkan lautan dari ancaman kerusakan yang bisa berdampak pada kemaslahatan miliaran orang di dunia.

Suksesnya AIS juga berkat dukungan masyarakat Sulut untuk menjadi tuan rumah yang baik, sekaligus memanfaatkan iven internasional ini untuk menggaungkan ke dunia bahwa inilah Sulawesi Utara, sebuah provinsi kelautan yang indah dan telah mencatatkan sejarah ikut dalam upaya penyelamatan dunia kelautan. Untuk menyelamatkan miliaran orang di dunia ! (fp/*)