NAMA Pierre Andries Tendean dijadikan nama jalan Boulevard di Manado. Jalan di pesisir pantai yang dulunya direklamasi ini sangat terkenal di ibukota Provinsi Sulawesi Utara ini. Di Jalan Pierre Tendean ini berjubel pusat perdagangan terbesar di Kota Manado. ย
Pierre Tendean sendiri adalah pahlawan yang gagah berani dalam peristiwa kekejaman PKI di Indonesia tahun 1965 silam.
Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andries Tendean dilahirkan 21 Februari 1939 silam di Jakarta. Ayahnya adalah pria kawanua asal Minahasa bernama Dr AL Tendean. Sedangkan Ibu Pierre seorang wanita Belanda berdarah Perancis bernama Maria Elizabeth Cornet.

Pierre merupakan campuran pria berdarah Minahasa, Belanda dan Prancis. Tak heran anak kedua dari tiga bersaudara ini terkenal ganteng dan berwajah indo. Pierre dulunya menempuh sekolah dasar di Magelang, kemudian melanjutkan SMP dan SMA di Semarang, dimana tempat ayahnya bertugas saat itu.
Bagi kedua orangtuanya, Pierre diminta menjadi dokter. Namun keinginan kuat cowok ganteng itu untuk menjadi tentara sangat kuat. Sehingga tahun 1958, Pierre berhasil masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung (saat ini namanya Akademi Militer– Akmil.
Pierre Tendean di kalangan teman-teman tarunanya kala itu terkenal sangat disiplin dan ramah, memiliki perawakan ideal dengan wajah ganteng karena blasteran Asia Eropa membuat Pierre banyak digandrungi gadis-gadis semasa menjadi taruna.
Meski demikian, Pierre adalah pemuda yang yang cuek tapi memiliki jiwa kepemimpinan. Tak heran bukan hanya wanita yang banyak menaruh simpati padanya, tapi juga rekan-rekannya sesama taruna menaruh hormat pada Pierre, sehingga ia terpilih menjadi Wakil Ketua Senat Korp Taruna.
Memiliki tubuh atletis dengan wajah ganteng tidak menjadikan Pierre seorang yang sombong, terbukti cintanya hanya untuk seorang gadis asli Medan.
Kisah cintanya dengan Rukmini ini terjadi pada tahun 1963, ketika Pierre Tendean kala itu masih berpangkat Letnan Dua. Kemudian dia ditugaskan sebagai Komandan Peleton Batalyon Tempur 2, Kodam II Bukit Barisan di Medan. Saat bertugas di Medan inilah awal mula Pierre bertemu dengan pujaan hatinya.
Kala itu Pierre Tendean tidak dalam kondisi dinas, kemudian diajak oleh kawan-kawannya bermain ke rumah Pak Chaimin, salah satu tokoh pemuka terpandang di daerah itu.
Rupanya, kunjungan Pierre ke rumah Pak Chaimin ini menjadi sangat berkesan ketika Pierre berjumpa dengan putrinya yang bernama Rukmini.
Pierre jatuh hati kepada Rukmini karena sikap Rukmini yang lemah lembut, pemalu dan tutur katanya yang sopan. Sedangkan Rukmini jatuh hati kepada Pierre bukan karena ketampanannya semata, tapi sikap huoris dan kecerdasan yang membuatnya jatuh hati.
Perjalanan cinta antara Pierre Rukmini bukan tidak berjalan mulus, tapi terhalang restu orangtua karena perbedaan agama. Sampai akhirnya, kebersamaan pasangan kekasih ini harus terpisah karena Pierre mendapat panggilan sekolah intelijen untuk kemudian ditugaskan pada Operasi Dwikora.
Usai menamatkan pendidikan intelijen, Pierre kemudian ditugaskan dalam operasi Dwikora dengan memimpin pasukan relawan untuk melakukan pengusupan ke wilayah Malaysia, saat itu dirinya diperbantukan untuk Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat.
Karir Pierre terus melesat, setelah dirinya ditarik kembali dari garis depan sebagai intelijen. Pierre kemudian ditunjuk menjadi ajudan Jenderal Besar TNI AH Nasution menggantikan Kapten Kav Adolf Gustaf Maang yang gugur dalam misi perdamaian di Kongo Afrika di tahun 1963.
Kesetiaannya pada kekasihnya yang jauh di Medan tetap berlanjut melalui jalinan hubungan jarak jauh melalui surat menyurat. Sampai akhirnya Pierre memantapkan niatnya untuk mempersunting gadis pujaannya di tahun 1965.
Pierre pun kemudian menulis surat kepada keluarganya di Semarang, meminta doa restu dari kedua orangtuanya untuk menikahi Rukmini. Saat mendampingi Jenderal Nasution bertugas ke Medan, pada 31 Juli 1965, Pierre menyempatkan diri menemui keluarga Rukmini untuk melamar. Hari pernikahan disepakati bulan November tahun 1965.
Keseriusan Pierre untuk menikahi Rukmini memang bukan main-main, guna menambah biaya pernikahannya Pierre bahkan harus berjuang setiap malam mengambil kerja sampingan sebagai sopir traktor meratakan tanah pembangunan proyek Monas. Namun informasi lain menyebutkan jika kerja sampingan Pierre sebaai sopir traktor adalah untuk membeli televisi.
Sebelum kejadian malam berdarah 30 September 1965, Pierre sempat mengirim surat kepada keluarganya jika ia tidak bisa pulang saat perayaan hari ulang tahun ibunya, karena dirinya masih dalam kondisi dinas. Pierre pun berjanji akan mengucapkan selamat ulang tahun melalui telepon kepadanya ibunya.
Sampai akhirnya ketika terjadi pengepungan oleh pasukan Tjakrabirawa di rumah Jenderal Nasution pada malam 30 September 1965, kala itu Pierre tidak dalam berdinas.
Mendengar keributan yang diiringi suara letusan senjata, instingnya sebagai intelijen militer pun lantas mengisyaratkan jika kondisi rumah Jenderal AH Nasution dalam keadaan bahaya. Kemudian dengan sigap, ia mengambil jaket dan senjatanya untuk menghadapi pasukan tersebut. Ketidakjelasan instruksi operasi kepada pasukan Tjakrabirawa membuat mereka salah tangkap dan tidak mengenali Jenderal Nasution, mereka membawa Pierre. Dia dibawa ke lubang buaya, dieksekusi di sana.
Lantas bagaimana nasib sang ibunda tercinta yang sedang berulang tahun dan menunggu ucapan selamat ulang tahun dari anak laki satu-satunya ini, yang dengan setia ditunggunya sampai larut malam.
Menurut buku biografi Pierre Tendean lainnya, yang berjudul Sang Patriot Pierre Tendean yang dilansir portalsurabaya.com, Ibunda beliau menunggu kepulangan Pierre di depan rumah, selama berhari-hari dan sampat izin cuti tanggal 1 Oktober 1965 untuk pulang ke rumah. Beliau menunggu Pierre, karena tgl 1 Oktober 1965 dia janji pulang.
Sampai akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1965, Pemerintah RI kemudian mengirim pesawat untuk menjemput keluarga Pierre Tendean di Semarang. Betapa terpukulnya hati wanita yang begitu menantikan ucapan selamat ulang tahun dari putera semata wayangnya ini, ketika yang didapati justeru adalah peti mati yang didalamnya terbujur jenazah Pierre Tendean. Sang ibu menangis dan meratap, โPierre, Pierre, mijn jongen, wat is er met jou gebeurd (Pierre, Pierre, anakku, apa yang terjadi denganmu)”.
Cornet yang terpukul atas kepergian anaknya semata wayang untuk selama lamanya, kerap mengunjungi makam Pierre sambil memborong banyak bunga angrek untuk menutupi seluruh makam anak tercintanya ini.
Gugurnya Pierre Tendean akibat kekejaman PKI, membuat kesehatan Cornet menurun. Sampai akhirnya dirinya jatuh sakit, dan pada 19 Agustus 1967 ia meninggal dunia. Sebelum meninggal, Cornet sempat berpesan agar jenazahnya ditutupi dengan selimut milik Pierre.
Sementara Rukmini, terpaksa mengubur rencana pernikahannya dengan Pierre Tendean, yang akan di langsungkan dua bulan lagi, kekasihnya tewas di malam 30 September itu. Tanggal 31 Juli 1965 saat lamaran, menjadi pertemuan terakhir Pierre dan Rukmini. Butuh waktu 5 tahun bagi Rukmini untuk mengikhlaskan Pierre dan menikah dengan pria lain.
Pierre Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. (sbr/*)

redaksikomentaren@gmail.com