oleh

Jadi Hiburan Warga Manado di Tengah Pandemi Corona, Ini Fakta Unik Tentang Falinggir

KETIKA masyarakat diharuskan melakukan phsycal distancing dan melakukan berbagai kegiatan dari rumah di tengah pandemi Covid-19 ini, warga Kota Manado dilanda ‘demam’ falinggir. Nama falinggir sendiri disebut-sebut berasal dari Bahasa Belanda, Vlieger yang kemudian berkembang dari mulut ke mulut di Minahasa dan akhirnya sekarang ini disebut dengan falinggir, merujuk pada layang-layang.

Mainan tradisional falinggir  tidak saja dimainkan anak-anak, namun kini turut dimainkan oleh orang dewasa. Umumnya ada dua kategori bermain falinggir, yakni falinggir hias (falinggir burung, buaya dan lain-lain) dan battle yang biasa disebut warga Manado dengan ‘baku gate’.  

Baku gate, adalah saling adu falinggir di udara dengan menggunakan benang yang sudah dilapisi beling sangat halus. Selain kekuatan benang gelas, pemenang ‘baku gate’ juga sangat ditentukan skill si pemain falinggir yang mampu membaca angin dan tahu memainkan teknik rado (tarik) atau lucur (ulur).

“Kalau anginnya kurang, sebaiknya main rado. Tapi kalau anginnya kencang, main lucur saja,” kata Apil, seorang pemain falinggir di Teling. Seni falinggir juga ada pada cara mengejar layangan yang putus akibat kalah bertarung di udara. Bagi pemburu falinggir embang (putus), salah satu ‘senjata’ yang diperlukan adalah bambu atau bulu yang memiliki raga-raga (bercabang kecil di ujung). “Namun karena corona begini, sudah kurang yang mau badusu (mengejar) falinggir,” lanjut Apil. Katanya, sekarang lebih praktis tinggal dibeli saja, karena harga falinggir tergolong murah dan sudah dijual di warung dan toko.

Permainan layangan sendiri sudah mendunia. Bahkan di daerah tertentu dilakukan berbagai festival layangan secara kolosal. Menariknya, ada fakta unik tentang sejarah falinggir. Disebut-sebut falinggir pertama kalinya diperkenalkan oleh bangsa China.

Namun ada sejarah bahwa layang-layang purba ditemukan di Indonesia, tepatnya di Pulau Muna Sulawesi Tenggara. Layangan itu dikenal dengan kaghati kolepe. Hal tersebut dikarenakan di Pulau Muna layang-layang dibuat dari daun kolepe sebagaimana dilansir seasia.co.

Kaghati kolepe menjadi salah satu dari koleksi layang-layang yang hadir di museum yang terletak di Pondok Labu, Jakarta Selatan tersebut.

Cina memang dikenal sebagai penemu layang-layang pertama dunia. Tetapi, pada 1997, seorang berkebangsaan Jerman, Wolfgang Bieck, yang ternyata seorang pencinta layang-layang serta ahli dalam dunia layang-layang, menyatakan bahwa Kaghati kolepe lah kayang-layang pertama di dunia.

Wolfgang tertarik dengan layang-layang dari Indonesia sejak International Kite Festival Berck sur Mer yang diadakan di Perancis pada 1997. Berkat ketertarikannya terhadap Kaghati kolepe, Wolfgang memutuskan untuk berkunjung ke Pulau Muna untuk mempelajari lebih lanjtu mengenai layang-layang purba tersebut.

Pada kesempatan ini Wolfgang berkesempatan untuk melihat sebuah lukisan di dalam gua Sugi Patani, yang terletak di desa Liang Kabori, Pulau Muna. Di dalam gua tersebut terdapat sebuah lukisan yang mengilustrasikan seseorang sedang menerbangkan layang-layang. Disinilah penelitian Wolfgang bermula.

Hasil penelitian tersebut dinyatakan oleh Wolfgang bahwa Kaghati kolepe dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara merupakan layang-layang pertama yang pernah diterbangkan oleh manusia. Kaghati kolepe merupakan layang-layang unik dikarenakan material utamanya adalah daun kering dengan kulit bambu.

Konon pada zaman dahulu, para pendahulu Pulau Muna menerbangkan layang-layang sebagai metode spiritual. Kaghati kolepe yang sedang terbang diharapkan sebagai penuntun terhadap Tuhan yang berada di langit. Diterbangkan selama 7 hari dan kemudian dibiarkan terbang terbawa angin di hari ke-7. Dipercaya bahwa layang-layang tersebut akan menajdi penuntun bagi jiwa sang pemilik saat telah meninggal menuju kemana Tuhan berada. (ssi/sbr)