oleh

Impian Maurits Mantiri Membangun Bitung Sebagai “Smart City”

Seorang pria bercelana pendek duduk memandang tanah lapang di belakang Restoran Riverside. Tanah itu dibatasi sebuah sungai yang menjadi pembatas batas lahan tersebut. Sang pemilik lahan bernama Maurits Mantiri (MM) tersebut. Dia adalah Wakil Walikota Bitung, yang baru saja memenangkan Pilkada Bitung 9 Desember 2020 lalu.

Februari 2021 nanti, MM yang berpasangan dengan Hengky Honandar akan dilantik sebagai top eksekutif di Kota Bitung. Masyarakat Kota Bitung sangat menaruh harapan besar di pundak pria ini.

Menjadikan Bitung sebagai kota berbasis digital yang diusung di masa kampanye, adalah sebuah ekspektasi tinggi bagi Kota Bitung yang terkenal dengan potensi perikanannya. Itu menjadikan gebrakan Mantiri dan Honandar membangun Bitung sebagai “Smart City” sangat menarik dinanti.

Saat diwawancarai komentaren.net, Mantiri mengatakan siap mewujudkan visi dan misinya bersama Honandar. Dalam program 100 hari ke depan, Mantiri menyebut akan menyiapkan fasilitas internet gratis bagi masyarakat. Tak tanggung-tanggung 1000 wifi gratis disiapkan di pelosok lingkungan se-Kota Bitung. Bahkan pemerintah juga akan membagikan ribuan amstphone gratis bagi masyarakat.

Mantiri menyadari bahwa “aktor utama” dalam pengembangan program Smart City adalah masyarakat itu sendiri, karena masyarakat merupakan End-User dari program Smart City itu sendiri. Memang “secerdas” apapun program digital yang dibuat pemerintah, kalau masyarakatnya tidak “smart people”, maka akan sia-sia program smart city tersebut.    

Tak berlebihan jika “Smart People” ini perlu mendapatkan fokus yang lebih. Untuk itu dia pun menyatakan, kesiapan Sumber Daya Manusia menjadi salah satu yang akan digenjot dalam upaya membangun Kota Bitung menuju kota  digital.

Saat ini, kata Maurits, dia telah memiliki tim IT yang mumpuni untuk menunjang program smart city-nya. Bahkan para THL (tenaga harian lepas) juga akan diberdayakan menjadi ujung tombak penerapan program aplikasi di tengah masyarakat, per lingkungan dan kelurahan.  

Salah satu yang membuatnya bergairah, kalangan generasi muda di Kota Bitung memiliki potensi besar di bidang digital. Bahkan diakuinya ada beberapa anak muda di Kota Bitung yang telah mempunyai nama besar di bidang aplikasi dan gamer.

Bahkan Maurits sampai mengirim puteranya untuk belajar Teknologi dan Informatika sampai di Negeri Sakura, Jepang. Smart City memang membutuhkan manajer-manajer professional untuk membangun sebuah ekosistem kota pintar. Mereka harus berpikir luas dan bekerja lintas lapisan dan beroperasi mengembangkan teknologi, inovasi, bisnis dan strategi.

Sebagai top eksekutif, Mantiri dan Honandar perlu “Play maker” yang ahli, karena smart city tak sekadar menjalankan program digital. Namun juga bagaimana mengamankan program dan aplikasi tersebut dari masalah yang mungkin muncul dari hackers.

Smart city juga bukan sekadar menjalankan aplikasi dan program berbasis internet, namun juga menyiapkan big data yang akan memudahkan dalam urusan government dan kalangan bisnisman. Begitu juga kesiapan regulasi, karena program Smart City berjalan tanpa adanya peraturan yang menyertainya, akan muncul bias-bias yang akan menjadi persoalan tersendiri.

Oleh sebab itu membangun smart city dalam durasi 3 tahun setengah sebagaimana masa pemerintahan Mantiri-Honandar, bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun keseriusan seorang Maurits Mantiri untuk memulai, patut diacungi jempol.    

Tahapan awal smart city adalah inisiasi. Hal ini memang terlihat sepele, namun tahapan ini cukup krusial untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kematangan masyarakat dalam menghadapi perubahan.

Hal lainnya yang perlu diketahui, kunci dari kesuksesan Smart City adalah pengembangan berkelanjutan. Pemimpin nantinya boleh berganti, namun sistem dan konsep tentang smart city tidak boleh berhenti. (friko poli)