oleh

ANALISIS UNSUR-UNSUR SASTRA DALAM CERPEN “STIMMEN SIND DA IN DER LUFT – IN DER NACHT” KARYA WOLFGANG BORCHERT

Penulis: Dra. Tien Siamando, M.Hum.
Vany Kamu, S.Pd., M.Hum.

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Manusia hidup di dunia ini memerlukan hal-hal tertentu untuk memenuhi kebutuhan mereka ada kebutuhan yang bersifat badaniah dan ada yang bersifat rohaniah. Kebutuhan yang pertama, misalnya, rumah, pakaian, makanan, dll sedangkan kebutuhan yang kedua adalah aturan-aturan dalam hidup, ajaran-ajaran agama, sesuatu yang dapat menggembirakan dan membahagiakan. Semua hasil karya manusia untuk memenuhi kebutuhan itu disebut kebudayaan. (Jacob Sumardjo, 1984:2).
            Sastra adalah sesuatu yang indah dan merupakan salah satu hasil karya manusia yang dapat mempengaruhi jiwa dan perasaan seseorang. Suatu karya sastra dapat memberikan kegembiraan, kesenangan, keharuan, tetapi dapat pula membuat seorang bersedih dengan apa yang dikisahkan penulis. Demikianlah, suatu karya sastra yang disususn dengan baik dapat membuat atau mempengaruhi pembacanya seperti apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialami penulisnya.
Keindahan pada sastra terletak dalam pengolahan bahan pokoknya. Misalnya seorang penari memperlihatkan keindahan dalam gerak-gerak tubuhnya. Seorang pelukis memperlihatikan keindahan melalui warna dan susunan bentuk. Sedangkan seorang sastrawan memperlihatkan keindahannya melalui bahasa. Bahasa adalah sarana pokok kesusastraan, tidak ada sastra tanpa bahasa.
Sehubungan dengan keterangan yang dikemukakan itu, maka pokok persoalan yang hendak dibahas dalam penelitian ini bagaimanakah karakteristik unsur-unsur sastra dalam cerpen
Stimmen Sind Da In Der Luft – In Der Nacht” dari Wolfgang Borchert
 
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis unsur-unsur karya sastra dalam cerpen “Stimmen Sind Da In Der Luft – In Der Nacht” dari Wolfgang Borchert.
 
1.3 Pendekatan, Metode, dan Teknik Penelitian
Sehubungan dengan proses dan tujuan analisis objek penelitian maka dipilih pendekatan Struktural yang dikemukan oleh Gützen (1976:195) yang mengatakan pendekatan Struktural merupakan cara untuk memahami  karya sastra dilihat sebagai sesuatu yang otonom. Karya sastra berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada diluar karya itu sendiri.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif. Menurut Winarno (1987), metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menceritakan dan menginterpretasikan data.
Penelitian ini merupakan penlitian studi pustaka. Oleh sebab penulis melakukan penulusuran terhadap referensi yang berkaitan dengan maksud, tujuan, dan objek penelitian ini. Kemudian berupaya untuk mengmpulkan, menidentifikasi, dan mengklasifikasi unsur-unsur karya sastra dalam cerpen “Stimmen Sind Da In Der Luft – In Der Nacht” dari Wolfgang Borchert.
 
1.4 Telaah Pustaka
Teeuw (1984:51) mengatakan bahwa dalam aliran struktural bukan penulis ataupun pembaca yang terpenting, bukan pula kenyataan yang dibayangkan oleh karya seni, tetapi karya sastra dilihat sebagai sesuatu yang otonom. Aristoteles dalam “Poetika” yang disitir oleh Teeuw (1984:120) telah meletakkan dasar yang kuat bahwa karya sastra sebagai struktur yang otonom. Mukarosky yang disitir oleh Fokkema suatu keseluruhan struktur berarti tiap-tiap bagian dan tiap-tiap bagian itu menunjang terbentuknya suatu totalitas. Gützen (1984:195) mengatakan aliran struktural yaitu karya sastra itu dilihat sebagai sesuatu yang otonom dan karya sastra itu berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh aspek lain.
Teeuw (1984:135) “New Criticism” aliran struktural di Amerika Serikat mengatakan bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan penyair sebagai pencipta atau pembaca sebagai penikmat; hal-hal yang disebut ekstrinsik tidak dapat diikutsertakan dalam analisis dan interpretasi karya sastra; yang perlu hanya “Close reading”.
Teeuw (1984:153) mengatakan “Genetiv Structuralisme” adalah aliran structural Genetik di Perancis yang diperoleh oleh Goldmann. Ia mengatakan bahwa setiap karya sastra bersifat otonom dan imanen, yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat
 
1.5 Landasan Teori
Sebagai landasan pijak untuk menganalisis unsur karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, penulis menggunakan beberapa alasan seperti yang dikemukakan oleh Gützen (1981:11-28) yaitu:
·     Ringkasan cerita menyangkut semua kejadian-kejadian atau apa saja yang terkandung dalam cerita.
·     “Stoff” merupakan bahan yang diambil pengarang fakta-fakta, berita-berita, pengalaman-pengalaman serta kejadian-kejadian yang alami sendiri atapun hanya diambil dari hasil karya orang lain.
·     Tema adalah pokok pembicaraan dalam suatu cerita. Cerita bukan hanya sekedar berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi susunan bagan itu sendiri harus mempunyai maksud tertentu. Tema merupakan dasar dari cerita yang diungkapkan baik secara langsung ataupun tidak, yang menyangkut pikiran-pikiran, persaan-persaan, pandangan hidup serta kondisi masyarakat pada waktu pengarang hidup.
·     “Aufbau” yaitu hubungan dari tiap bagian karya sastra untuk menunjang keseluruhan isi cerita.  “Aufbau” itu dapat berupa “Äußerer dan innerer Aufbau”, ”Äuerer Aufbau” yang menyangkut keadaan luar dari suatu kejadian yang bisa dilihat dengan nyata, sedangkan “innerer Aufbau” yang menceritakan tentang sesuatu yang tidak kelihatan yaitu berada misalnya dalam pikiran seseorang.
·     Bentuk cerita adalah cara yang dipergunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya, dalam memberikan bentuk kepada ceritanya.
·     “Erzählverhalten” yaitu pengertian tentang cara pengungkapan cerita. Di dalam bentuk ini dapat diperinci lagi sebagai berikut: “Auktoriales Erzählverhalten” yaitu pencerita membawakan sendiri komentar-komentar, pendapat-pendapat serta kejadian yang dilukiskan oleh pengarang. “Neutrales Erzählverhalten” yaitu pencerita berada diluar dari karya yang diceritakan. “Personales Erzählverhalten“, yaitu pencerita muncul dengan komentar-komentar, tetapi komentar-komentar itu kadang-kadang tidak nampak secara eksplisit karena pengarang berada dibelakang tokoh utama.
·     Sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara pengarang dengan alam fiktif ceritanya.
·     “Erzählperspektive” menceritakan tidak hanya mengenai sudut pandang dari pengarang melainkan dilukiskan tentang semua latar belakang tokoh cerita, pendapat-pendapat serta perasaan-perasaan yang dilukiskan dalam karya sastra. “Erzählperspektive” itu bisa sebagai “Innensicht” atau pun “Außeneicht”. Yang dimaksud dengan “Innensicht” yaitu pengarang melukiskan segala aesutu yang ditemukan dalam karya sastra, seolah-olah ia serba tahu. Ini dapat dilihat dalam karya sastra yang dipergunakan pengarang dengan kata “mengetuhui dan mengerti”. Sedangkan “AuBensicht” adalah pelukisan pengarang tentang apa yang kelihatan.
·     Gaya bahasa dari setiap pengarang novel atau cerpen dalam menyajikan hasil ciptaannya selalu ditandai oleh corak khas pengarang itu sendiri, sifatnya boleh netral, metafora, repetisi, personifikasi, klimaks dan lain-lain.
 
2.PEMBAHASAN
2.1 Ringkasan cerita
Ringkasan cerita menyangkut semua kejadian-kejadian atau apa saja yang terkandung dalam cerita. Menceritakan tentang lima orang penumpang dan satu orang kondektur yang berada dalum sebuah kereta api pada sore hari di bulan November. Pada saat itu udara begitu dingin dan di luar kabut begitu tebal. Seorang lelaki tua yang matanya berkaca-kaca karena air natanya berkata: “Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya lihatlah di udara banyak orang mati dan kita tidak dapat tidur karena mendengar suara-suara mereka”.
Di antara penumpang-penumpang ada seorang nyonya yang sudah agak tua yang dalam keadaan pilek mengangguk- angguk “Ya di udara banyak sekali orang mati dan memang betul suara-suara mereka terdengar setiap saat”, juga si kondektur berkata demikian. Akan tetapi salah seorang lelaki muda dengan muka yang pucat tidak mengadakan reaksi seperti orang tidur.
Akhirnya ia terjaga karena suara dari lelaki tua itu yang berkata, “Hai, orang muda apakah engkau dapat tidur dan tidak mendengar suara-suara mereka yang telah mati dan berada di udara”. Lelaki itu diam saja dan meminta rokok kepada lelaki tua itu dan lelaki tua itu bertanya, Mengapa engkau tidak memakai mantel sedangkan ini bulan November dan engkau kelihatan agak pucat?”. Kemudian lelaki itu menceritakan bahwa dahulu sebelum ibunya meninggal tiga tahun yang lalu ia selalu berkata demikian.
 
2.2 “Stoff”
Sebagai unsur karya sastra “Stoff” pada cerpen “Stimmen Sind Da In Der Luft – In Der Nacht”, Wolfgang Borchert mengambarkan cerita yang ia alami di masa perang. Oleh sebab itu  karya sastranya memiliki tema utama mengenai perang, tetapi penyampaian ceritanya dilukiskan dalam berbagai suasana.
Kata “Perang” bagi dirinya merupakan satu kejadian ataupun bayangan yang tak dapat dilupakannya. Perang itu merubah segala sesuatu dari keadaan yang ada. Perang itu mempunyai pengaruh yang sangat berarti bagi kehidupan pada masa itu karena kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap orang hilang begitu saja oleh perang.
Wolfgang Borchert mengalami kenyataan lain yang dialami sendiri karena ia harus menderita sakit yang menggangu kesehatannya, juga harus masuk penjara yang hampir menyita semua masa mudanya. Kenyataan lain yang dilihatnya seharusnya tidak akan terjadi yaitu banyak anak yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya gugur dalam perang, banyak wanita yang menjadi janda, serta terdengar tangisan dimana-mana dari orang tua serta anak-anak, dan juga anak-anak muda yung harus berpisah dengan kekasihnya. Dimana-mana terjadi kelaparan yang hampir melanda semua masyarakat. Dalam keadaan yang demikian orang-orang berteriak ingin mendapatkan ketenangan dunia yang didambakan oleh setiap umat manusia.
Demikianlah Wolfgang Borchert mengambil “Stoff” untuk cerpennya yang merupakan kejadian yang dialami sendiri atau pun kejadian yang dialami oleh orang lain.
Wolfgang Borchert menulis karya-karyanya dalam waktu dua tahun. Pada umur 18 tahun perang meletus dan selama enam tahun ia mengalami perang dan akhirnya pada umur 26 tahun ia meninggal dunia.

2.3 Tema
Setiap cerita haruslah mempunyai tema atau dasar yang merupakan tujuan. Semakin baik bentukan cerita, semakin jelas temanya.
Kedudukan tema dalam cerita rekaan sangat menentukan karena semua unsur sastra dalam sistem operasionalnya akan mengacu dan menunjang tema untuk mewujudkan makna yang ingin disampaikan oleh pengarang terhadap pembaca.
Setiap cerita yang baik dibentuk oleh tema yang menentukan arah. Tema yang menentukan arah ini memilih dan nengatur semua unsur yang dimasukkan ke dalam cerita misalnya: tokoh-tokohnya, isi ceritanya dan pemecahan konfliknya yang oleh pengarang digunakan untuk menghidupkan jalan cerita. Tema merupakan pengamatan pengarang tentang apa yang terdapat dalam masyarakat yang kemudian dipindahkan di dalam cerita rekaan.
Setelah penulis membaca cerpen ini, penulis mendapat kesan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang adalah perang yang mengakibatkan segala-galanya hancur. Penulis dapat mengetahui bahwa banyak sekali orang yang mati di udara dan suara-suara terdengar, sampai mereka tidak dapat tidur. Begitu juga lelaki yang berwajah pucat, ia tidak mempunyai mantel pada músim đingin dan harus menderita kelaparan, juga ibunya harus meninggal dunia.

2.4 “Aufbau”
Suatu karya sastra sudah tentu mempunyai bagian-bagian cerita, yang kemudian bagian-bagian cerita itu menunjang terbentuknya kebulatan suatu karya sastra. Susunan dari tiap-tiap bagian yang teratur, dengan baik akan menghasilkan suatu jalan cerita yang baik pula.
Susunan cerita itu dapat berupa “Äußerer dan innerer Aufbau”, ”Äußerer Aufbau” yang menyangkut keadaan luar dari suatu kejadian yang bisa dilihat dengan nyata, sedangkan “innerer Aufbau” yang menceritakan tentang sesuatu yang tidak kelihatan yaitu berada misalnya dalam pikiran seseorang. Dengan adanya susunan yang baik dan teratur maka karya sastra itu menarik pembaca.
Jadi, “Aufbau” yang baik akan menunjang terciptanya suatu karya sastra yang menarik. Wolfgang Borchert dalam cerpennya menggunakan kedua jenis dari “Aufbau”.
            Pertama-tama pengarang melukiskan keadaan penumpang di kereta api dan cuaca kabut yang dingin di sore hari pada bulan November. Pelukisan ini merupakan “Äußerer Aufbau”.
            Kemudian dilanjutkan dengan “innerer Aufbau” yaitu lelaki itu berpikir akan ibunya yang merupakan masa yang paling berbahagia, merupakan surga baginya.
 
2.5 Bentuk Cerita
Bentuk cerita adalah cara yang dipergunakan pengarang untuk mengungkapkan ceritanya, dalam memberikan bentuk kepada ceritanya. Pemberian bentuk kepada karya sastranya dipengaruhi oleh jenis karya sastra yang dilukiskannya.
Wolfgang Borchert menyajikan karya sastranya dengan memakai bentuk cerita “Er-Form” atau yang lebih dikenal dengan bentuk cerita “dia” , Bentuk cerita “dia” adalah bentuk cerita yang bukan menceritakan tentang diri sendiri tetapi orang lain. Dalam hal ini, orang lain yang menjadi objek cerita dari pengarang, pengarang tidak melukiskan diri sendiri sebagaimana dalam buku harian, otobiografi. Dalam cerpen-cerpennya. Wolfgang Borchert Imempergunakan bentuk cerita gaya “dia”. Ini dapat dilihat dalam kalimat-kalimat cerpen.
Wolfgang Borchert dalam cerpen ini mempergunakan bentuk cerita gaya “dia”. Ini dapat dilihat pada kalimat berikut:
Die Toten sind es, die vielen vielen Toten. Die mit den Tränensücken flüsterte: Die Toten, meine Herrschaffen. Es sind zu viele. Sie drängeln sich nachts in der Luft. Die vielzuviel Toten sind das. Şie haben keinen Platz. Denn alle Herzen sind voll. Uberfüllt bis an den Rand. Und nur in den Herzen können sie bleiben, das ist sicher. Aber es sind zuviel Tote, die nicht wissen: Wohin!?”.
 
2.6 “Erzählverhalten”
“Erzählverhalten” yaitu pengertian tentang cara pengungkapan cerita. Dalam cerpen ini, pengarang mempergunakan “Neutrales Erzählverhalten”. Ini dapat dilihat dalan ungkapan-ungkapan kalimatnya sebagai berikut:
Der Schaffner malte große schiefe Geschichter an die nebelnassen Schreiber und sagte: Ja, die Toten sind da. Die reden in der Luft, ja. Das ist klar. Das sind die Stimmen. Die hangen nachts in der Luft übern Bett. Dann schlaft man davon nicht. Das ist klar” (Borchert, 1956).
 
 
 
 
2.7 Sudut pandang
Sudut pandang adalah hubungan yang terdapat antara pengarang dengan alam fiktif ceritanya. Pengarang haruslah dapat menjelaskan kepada pembaca bahwa ia selaku narator atau pencerita mempunyai tempat berpijak tertentu dalam hubungannya dengan cerita itu.
Hubungan antara pengarang dengan ceritanya dapat dilukiskan secara mendetail yaitu cerita itu dapat diceritakan oleh seorang tokoh dalam cerita itu. Dalam hal ini, pengarang bertindak sebagai orang yang serba tahu, yaitu segala sesuatu yang dilakukan oleh setiap tokoh diketahuinya.
Tetapi, dapat juga dalam hubungan antara pengarang dengan ceritanya dapat dilukiskan sebagai orang ketiga. Orang ketiga ini bertindak sebagai tukang cerita, juga ia dapat bertindak sebagai narrator luaran yang dapat meresapkan, mencerminkan pikiran dan perasaan tokoh utama.
Wolfgang Borchert dalam cerpen-cerpennya bertindak sebagai orang ketiga “dia” yang memberikan pendapat mengenai ceritanya.
 
2.8 “Erzählperspektive”
Di dalam “Erzählperspektive” ini diceritakan tidak hanya mengenai sudut pandang dari pengarang melainkan dilukiskan tentang semua latar belakang tokoh cerita, pendapat-pendapat, serta perasaan-perasaan yang dilukiskan didalam karya sastra itu.
Erzählperspektive” itu bisa sebagai “Innensicht” atau pun “Außeneicht”. Yang dimaksud dengan “Innensicht” yaitu pengarang melukiskan segala sesutu yang ditemukan dalam karya sastra, seolah-olah ia serba tahu. Ini dapat dilihat dalam karya sastra yang dipergunakan pengarang dengan kata “mengetuhui dan mengerti”. Sedangkan “AuBensicht” adalah pelukisan pengarang tentang apa yang kelihatan.
Dalam cerpen ini, pengarang mempergunakan “Innensicht und AuBensicht Erzählperspektive”. Kedua jenis ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapan pada kalimat-kalimat berikut:
Und die Mädchen fühlten fremde männliche Hände heimlich auf der Haut und sie hatten rote Gesichter an diesem grauen Nachmittag in der StraBenbahn. Aber der junge Mann, der war blaß und sehr einsam in seiner Ecke und hatte die nuge zu, als ob er schliefe” (Borchert, 1956).
Ini merupakan “Außensicht Erzählperspektive”. Juga dalam cerpen ini pengarang mempergunakan “Innensicht Erzählperspektive” sebagai berikut “Sie wußten es langst, daß es nachts Stimmen gab” (Borchert, 1956).
 
2.9 Gaya Bahasa
Setiap pengarang novel atau cerpen dalam menyajikan hasil ciptaannya selalu ditandai oleh corak khas pengarang itu sendiri. Kekhasan itu tampak pada gaya bahasa yang digunankan. Ciri yang menggambarkan kekhasan itu adalah sebagai pencerminan sifat pribadi pengarang yang sukar ditiru, bahkan tidak mungkin đapat ditiru oleh pengarang 1ain.
Gaya bahasa dari pengarang mengenai apa yang diceritakan bisa seperti repetisi yaitu, perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Personifikasi yaitu semacam gaya bahasa kiasan yang mempergunakan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Dalam cerpen ini, pengarang mempergunakan gaya bahasa sebagai kalimat pendek, ini dapat dilihat dalam kalimat-kalimat berikut: “Ja, die Jungen! Die können schlafen. Nachmittags. Nachts. Im November. Immer. Die Hören die Toten nicht” (Borchert,1956).
Juga pengarang mempergunakan gaya bahasa personifikasi. Hal ini dapat dilihat pada kalimat-kalimat sebagai berikut: “Nur das Gelb der Straßenbahn schwamm einsam im nebligen Nachmittag” (Borchert, 1956). Kemudian, pengarang dalam cerpen ini mempergunakan gaya bahasa repetisi. Kita dapat melihat pada contoh-contoh kalimat sebagai berikut: “Die Toten sind es, die vielen vielem Toten” Der mit den Tränensäcken flüsterte : Die Toten, meine Herrschaften. Es sind zu viele” (Borchert,1956).
 
3. KESIMPULAN
            Memperhatikan hasil analisis pada bab sebelumnya ada beberapa hal yang menjadi konklusi sebagai representasi dari hasil analisis unsur-unsur sastra dalam Cerpen dari Wolfgang Borchert seperti yang dipaparkan berikut ini:
1.    Ringkasan cerita menceritakan lima orang penumpang dan satu orang kondektur yang berada dalum sebuah kereta api pada sore hari di bulan November.
2.    “Stoff” dalam cerpen “Stimmen Sind Da In Der Luft – In Der Nacht” karya Wolfgang Borchert merupakan peristiwa atau kejadian yang dialami sendiri tetapi juga oleh orang lain.
3.   Tema dari cerpen yang dipergunakan oleh Wolfgang Borchert yaitu mengenai perang. Perang itu mempunyai pengaruh yang sangat berarti bagi kehidupan manusia karena kebahagiaan yang dimiliki oleh setiap orang hilang begitu saja oleh perang.
4.   Dalam penelitian ini, Wolfgang Borchert menggunakan kedua jenis dari “Aufbau” yaitu “Äußerer dan innerer Aufbau”.
5.   Bentuk cerita yang dipergunakan Wolfgang Borchert adalah bentuk cerita gaya “dia” (Er-Form). Di dalam cerpennya perang selalu menggunakan kata “dia” untuk mengungkapkan ceritanya.
6.   “Erzählverhalten” yang dipergunakan pengarang didalam cerpennya adalah “Neutrales Erzählverhalten”.
7.   Didalam mengemukakan ceritannya, Wolfgang Borchert mempergunakan sudut pandang sebagai orang ketiga.
8.   “Erzählperspektive” yang digunakan ialah “Innensicht und Außeneicht Erzählperspektive”. Kedua bentuk “Erzählperspektive” ini juga dipergunakan pengarang dalam cerpennya.
9.   Gaya bahasa yang dipergunakan oleh Wolfgang Borchert adalah gaya bahasa kalimat pendek, personifikasi, dan repetisi.
 
DAFTAR PUSTAKA
Borchert, W. 1996. DrauBen vor der Tür. Rowohlt Taschenbuch Verlag GmbH: Hamburg.
Bünting, K.D. 1979. Einführung in die modern Linguistik. Fischer Taschenbuch: Frankfrut am Main
Dietrich, W. 1976. Deutsch Literatur der Gegebwart in Einzeldarstellungen. Ban I. Kroner Verlag: Stuttgart.
Fokkema, D.W. et al. Theories of Literature in the Twentieth Century. C Hurst dan Company: London.
Gützen, D. et al. 1976. Einführung in die neure deutsche Literaturwissenschaft. Erich Schmidt: Berlin.
Keraf, G. 1977. Komposisi. Nusa Indah: Ende Flores.
Keraf, G. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Gramedia: Jakarta.
Luxemburg, J. Van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Gramedia: Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka: Jakarta.
Sumardjo, J. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Bahasa. Pustaka Jaya: Jakarta.